Gita's Garbage Can
A collection of my writings about life experiences. Yeah... MY experiences.
Selasa, 07 Februari 2012
Dive Story : Hidden Paradise of Gorontalo
Kota Gorontalo, menjadi tujuan saya kali ini untuk melakukan penyelaman. Bahkan saya dan teman – teman sudah mempersiapkan ( baca : mengajukan cuti, beli tiket pesawat ) sejak bulan September. Yap, 2 bulan sebelum kita berangkat ( Dive Trip ke Gorontalo ini dilakukan pada tanggal 19 – 22 November 2011 – penulis ).
Bergerak dari Jakarta menggunakan pesawat paling pagi ( jam 5.00 WIB ), kami pun mendarat dengan mulus di bandara Djalaludin Gorontalo pada pukul 11.00 WITA. Bentangan laut warna biru, dan danau Limboto yang dijepit oleh bukit – bukit menjadi pemandangan kami sebelum mendarat. Dari atas pesawat pula, kami sempat mengamati, bahwa jarang ada pantai berpasir di kota Gorontalo. Daratannya kebanyakan berbentuk tebing yang berbatasan langsung dengan laut.
Sebagai tambahan pengetahuan, Kota Gorontalo merupakan ibukota propinsi ke 32 di Indonesia dimana provinsi Gorontalo sendiri terbentuk mulai 22 Desember 2000. Jika Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah, maka kota ini juga dikenal sebagai Serambi Madinah. Selain kota Gorontalo sebagai ibukota, di provinsi Gorontalo terdapat 5 kabupaten yaitu Boalemo, Bone Bolango, Gorontalo, Gorontalo Utara, dan Pohuwato.
Selepas dari bandara Djalaludin yang terletak di Kabupaten Gorontalo, kami langsung menuju ke arah Kota Gorontalo. Kami sempatkan mampir di pasar Limboto untuk makan siang dengan menu spesial, yaitu Ayam Iloni. Ayam Iloni ini mirip seperti ayam bakar biasa yang dilumuri oleh sambal/bumbu rica-rica, tapi pedesnya minta ampun. Ketika kita pesan ayam Iloni ini, yang disajikan selain ayam itu sendiri adalah semangkuk kecil sup, sebungkus sagu, sedikit sayuran dan nasi.
Setelah makan siang yang lebih mirip olahraga karena keringetan, kami melanjutkan kembali menuju kota Gorontalo. Tanpa mampir untuk makan siang, menurut driver kami ( Om Ju ) perjalanan dari bandara menuju kota sekitar 45 – 60 menit menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan menuju kota ini, kami melihat kendaraan umum yang disebut bentor ( becak motor ), yaitu sepeda motor yang bagian depannya dimodofikasi seperti becak. Bentor ini digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, dari angkutan umum, kendaraan keluarga hinggal berjualan. Bentor lebih laku daripada angkutan umum seperti angkot, karenanya disini jumlah bentor lebih banyak daripada angkot. Sistem pembayarannya bukan seperti ojek atau bajaj, tapi bayar per orang per tujuan. Kalau dalam kota antara 3000 – 5000 per orang. Bentor sendiri bisa memuat 5 orang sekali jalan, 3 atau 4 orang di depan dan 1 orang lagi di bonceng di belakang supir.
Sesampainya di hotel ( Grans City Extra ), kami langsung check in dan kemudian membongkar peralatan menyelam. Tanpa berlama – lama, kami langsung menuju pelabuhan Gorontalo yang terletak sekitar 10 menit dari hotel untuk melakukan check dive.
Check dive kami dilakukan di site yang bernama Muka Kampung. Dive site ini berupa slope dan muck. Cukuplah buat dive pemanasan sebelum dive yang sebenarnya besok, pikir saya. Di dive site ini, kami menemukan beberapa fauna – fauna yang menarik, dari porcelain crab di atas anemon, kuda laut yang berserakan hingga mimic octopus, si peniru makhluk laut lain. Yang anehnya, dasar laut di dive site ini berupa lumpur dengan sampah dimana-mana, tetapi terlihat masih ada kehidupan di sela-sela kotoran ini.
Overall, dive site ini sangat lebih dari cukup sebagai tempat check dive kami. Mudah, dan gak bikin kami terlalu lelah mengingat keberangkatan kami ke Gorontalo subuh waktu Jakarta. Menyudahi check dive ini, kami kembali ke hotel untuk mandi terus siap-siap melanjutkan wisata kuliner. Yap... Setiap dive trip kami, selalu ada wisata kuliner di dalamnya.
Dengan menggunakan bentor dan hanya membayar Rp 3000 per orang, dalam hitungan menit, kami sudah sampai di restoran seafood Golden Fish yang letaknya tidak jauh dari hotel kami, mungkin sekitar 1 – 2 km saja. Kami langsung pesan kepiting, cumi, udang dan ikan yang dimasak berbagai jenis bumbu. Setelah “mengganti” energi yang kami buang untuk penyelaman di hari itu, kami kembali ke hotel. Kali ini bukan hanya untuk istirahat melulu, tapi mengganti waktu tidur kami yang berkurang karena harus berangkat pagi dari Jakarta.
Pada hari kedua, kami langsung menuju ke salah satu dive site terjauh dari kota Gorontalo, namanya Tanjung Kerbau. Lokasinya yg terletak di tenggara kota Gorontalo dan ditempuh 1 jam perjalanan menggunakan kapal. Sesampainya di lokasi dan setelah briefing singkat dari dive master a.k.a guide bernama om Noldy ( yang jauh – jauh di boyong dari Manado ), kami langsung terjun ke air. Begitu turun, om Noldy langsung berenang sendiri menuju sea fan warna merah di kedalaman 30 m. Kemudian dia menunjukkan Pigmy Seahorse seukuran 10 mm yang lagi nongkrong santai di sea fan itu. Ini pertama kali saya melihat dengan mata kepala sendiri binatang unik ini.
Kami melanjutkan penyelaman kami di dive site yang berupa wall ini. Tingkat kejernihan ketika kami menyelam sangatlah bagus. Jarak pandang sekitar 15 – 20 m. Dan sering kita temui berbagai jenis dan ukuran Salvadore Dali sponge yang memang menjadi obyek utama di penyelaman di Gorontalo. Di akhir penyelaman, kami sempat menemukan gua kecil dimana tembus dari kedalaman 3 m menuju ke 15 m.
Selesai dari dive site Tanjung Kerbau, kami langsung menuju dive site bernama Gua Jin ( Jinn Cave ). Letaknya tidak terlalu jauh dari Tanjung Kerbau, hanya sekitar setengah jam kurang perjalanan dari Tanjung Kerbau. Sama seperti Tanjung Kerbau, dive site ini berupa wall. Gua Jin sendiri mendapatkan namanya dari sebuah bentukan celah batu yang seperti gua. Jarak pandang juga sangat bagus, 15 – 20 m.
Dive ketiga kami lakukan di dive site bernama Pulau Tenggelam. Letaknya di depan sebuah kampung yang berjarak sekitar 500 m dari tepi pantai. Sebenarnya bukan benar – benar pulau yang tenggelam, tapi sebuah Atol yang sekarang sudah benar – benar terendam oleh laut. Titik penyelaman ini berbentuk slope. Sayangnya, tingkat kejernihan air berkurang, mungkin jarak pandang hanya maksimal 15 m saja. Karang disini kurang berwarna warni dibandingkan 2 dive site awal.
Hari itu,kegiatan kami ditutup dengan melakukan penyelaman malam hari di dive site yang sama ketika kami melakukan check dive, yaitu Muka Kampung. Star gazer, nudibrang ( nudibranch besar ± 30 cm panjangnya ), ornate ghostpipefish, broad-banded dan yellow-banded pipefish, murray eel yang berserakan, dragonet fish, small pufferfish dan lain – lain termasuk beraneka udang dan kepiting kecil. Kami menyudahi penyelaman selama 80 menit di tempat ini, lebih dikarenakan kedinginan dan kebosanan. Yup, menyelam terlalu lama bisa bikin bosan juga.
Penyelaman di hari kedua ini kami lakukan di bagian barat pantai selatan dari Gorontalo. Yaitu di area Biluhun ( dive site #1 & #2 ) dan Tanjung Pasir. Lokasi ketiga dive site ini berdekatan. Kontur dasar laut di sini pun sama, yaitu bertipe wall. Terutama di Biluhun ( baik #1 maupun #2 ), mempunyai highlight yang sedikit berbeda, yaitu bentuka salvadore dali sponge yang mirip dengan ikan hiu ( berada di dive site Biluhun #2 ) dan saxophone ( Biluhun #1 ). Kedua Salvadore Dali sponge unik ini terletak di kedalaman 17an meter, bertengger dengan indahnya di wall. Untuk Shark Salvadore Dali Sponge, untuk melihat bentukan hiunya, harus dilihat dari bagian bawah. Dan menurut saya, lebih terlihat sebagai paus ( minimal whale shark ) dibandingkan hiu. Sedangkan untuk Saxophone Salvadore Dali, bentuknya sedikit tidak beraturan dan lebih mirip saxophone raksasa yang tergeletak di bagian horisontal di celah dinding. Hari kedua pun berlalu dengan 3 dive di bagian barat pantai selatan Gorontalo. Hari itu pun ditutup dengan makan martabak telor dan sushi tuna ala Gorontalo.
Dive di hari ketiga sekaligus hari terakhir ini kami dedikasikan untuk “jalan – jalan” di wreck. Lokasinya pun sangat dekat dengan pelabuhan ferry Gorontalo, yaitu Tjendrawasih barge Shipwreck ( lokasinya persis di depan pelabuhan ferry ) dan Japanese Cargo Shipwreck ( sekitar 15 menit dari pelabuhan ferry ). Penyelaman pertama kami lakukan di Tjendrawasih Barge Shipwreck, sempat sekitar 5 menit mencari – cari ( di dalam air ) lokasi kapalnya, akhirnya kami bisa melihat ( kebetulan air lagi jernih ) bentuk barge / tongkang yang terguling terbalik dengan sisa – sisa drum hasil percobaan untuk mengangkat ke permukaan. Titik terdangkal dari wreck ini di kedalaman 10 m sedangkan terdalamnya di 20an m. Menurut info,di lokasi ini ada albino salvadore dali sponge. Akan tetapi saat kami semua ( terutama guide dan group leader kami ) tidak bisa menemukan sponge itu.
Penyelaman kedua kami lakukan di Japanese Cargo Shipwreck. Penyelaman disini merupakan penyelaman dalam, karena titik terdangkalnya, yaitu bagian propelernya di kedalaman 29 m. Yup, kapal kargo ini dalam posisi benar – benar terbalik. Setelah berfoto di propeller, group leader ( sekaligus instruktur ) kami memberi tanda untuk mengikuti dia lebih ke dalam. Tiba – tiba, suara hembusan udara dari mouth piece kami tergantikan oleh suara alarm dari dive computer kami masing – masing yang menandakan kami sudah melewati kedalaman maksimal yang kami set di dive comp, plus sudah menghabiskan no decompression time. Begitu saya lirik ke dive comp saya, ternyata kami semua sudah berada di kedalaman 42 m, titik terdalam yang pernah saya selami ( dan ternyata yang kedua terdalam yang instruktur kami pernah selami ). Kurang dari 5 menit kami berada di kedalaman itu sambil dagi dig dug karena saya bawa kamera dengan housing yang tertulis max depth 40 m. Kami menyudahi penyelaman hari itu dengan bertemu dengan sotong ( cuttle fish ), penyu yang sedang tidur di bawah karang dan ornate pipefish pada saat kami melakukan multi level dive dan safety stop. Cukup 2 dive saja hari itu karena kami harus mengejar no fly time sehingga kami aman untuk terbang kembali ke Jakarta esok hari.
Secara keseluruhan, pemandangan bawah air dan permukaan di Gorontalo sangat indah. Khusus untuk pemandangan bawah air, meskipun coralnya indah akan tetapi sedikit membosankan karena hampir semua dive site di sini mempunyai tipikal yang sama, yaitu wall. Selain itu, tidak ada ikan – ikan besar seperti schooling jack fish, napoleon, barracuda dll yang bisa menambah highlight suatu titik penyelaman.
Akan tetapi, highlight yang utama dari penyelaman bawah air di Gorontalo adalah Salvadore Dali Sponge berbagai bentuk, dari berbentu rose /bunga sampai berbentuk hiu. Tingkat kejernihan air laut disini pun juga sangat baik, berkisar 20 – 30 m tergantung dari cuaca. Tidak akan menyesal untuk pergi menyelam di Gorontalo. Good food, good weather and also good underwater view.
catatan khusus :
Bagi teman-teman yang bukan penyelam, bisa melakukan perjalanan wisata di sekitar kota Gorontalo.
Ada benteng Otanaha, danau Limboto, sampai melakukan wisata kuliner. Obyek wisata di Gorontalo bisa dilihat disini
catatan lagi ( yang gak begitu khusus ) :
- Tulisan ini sudah pernah di upload ke www.indonesiangeographic.com
- Foto - foto lengkap bisa dilihat disini
Selasa, 08 November 2011
Dive Story : Pulau Pelangi, Kepulauan Seribu
Setelah hampir 3 bulan tidak pernah melakukan Dive Trip ( perjalanan terakhir adalah mengikuti Reef Check bersama WWF Marine Buddies di akhir Juli ), akhirnya saya bersama teman – teman dari WhatTheFish.org pergi untuk membasahi “insang” kami di Pulau Pelangi, kepulauan Seribu. Yap, 3 bulan sudah membuat “insang” saya kering kerontang, jadi begitu ada tawaran untuk menyelam, langsung saya iyakan saja lah. Saya ditemani oleh istri saya yang saya ajak untuk melakukan discovery dive di sana karena kebetulan dive trip kali ini dilakukan di weekend sehingga saya bisa ajak istri.
Saya berangkat menuju ke Pulau Pelangi dari Pantai Mutiara. Keberangkatan sempat ditunda sampai 1 jam karena masih menunggu 1 orang dari rombongan lain yang terlambat datang. Menggunakan boat yang memakai 3 mesin berkapasitas 250 tenaga kuda, kami disambut oleh laut yang tenang dan cuaca yang cerah begitu boat keluar dari dermaga pantai Mutiara.
Setelah hampir 1,5 jam, akhirnya saya sampai juga di Pulau Pelangi. Begitu kami semua turun dan menuju resepsionis resor, kami langsung disuguhi dengan air kelapa yang cukup menyegarkan kepala karena saking cerahnya, kami juga merasa mataharinya terlalu terik.
Pulau Pelangi adalah sebuah pulau resor seluas 12 ha dengan jarak 60 km dari Pantai Mutiara, Jakarta dan terletak di sebelah timur Pulau Putri. Pulau ini memiliki vegerasi yang rimbun dan pasir putih di sekeliling pantainya. Dari pantainya, kami bisa melihat pulau Putri dan pulau Sepa di sebelah baratnya. Sedangkan pulau Bira terletak di sebelah selatan pulau ini. Di pulau ini, terdapat 9 bungalow tipe Tulip, 12 bungalow tipe Jasmine, 8 Bungalow tipe Bougenville,dan 1 Bungalow tipe Edelweis.
Tanpa mau membuang waktu, kami semua ( 8 orang diver dan 1 orang non diver yaitu istri saya ) langsung pergi ke kamar masing – masing untuk ganti baju dan bersiap untuk penyelaman pertama. Setelah mempersiapkan segala peralatan dan dimasukkan ke boat, kami berangkat menuju ke Pulau Matahari, sekitar 30 menit perjalanan memakai boat kecil ke arah Barat.
Penyelaman pertama dilakukan di dekat dermaga bagian belakang pulau Matahari. Setelah briefing oleh dive master dan “bagi – bagi” buddies, kami langsung turun ke air. Titik penyelaman disini berupa slope yang sedikit terjal yang ketika kami menyelam, visibilitas sekitar sejauh 8 m. Semakin ke dalam ( kedalaman maksimum menyelam saya tercata sedalam 28,9 m ), gugusan coral makin sepi,lebih banyak rubble atau patahan – patahan karang yang berserakan. Gugusan coral yang rapat dan tebal malah terdapat di kedalaman sekitar 5-7 m.
Setelah 61 menit penyelaman yang “ternoda” karena kamera saya yang tiba – tiba habis baterai tepat sesaat dimulainya penyelaman, kami kembali ke pulau Pelangi untuk makan siang terlebih dahulu sebelum melakukan penyelaman kedua yang rencananya memang akan dilakukan dari dermaga pulau Pelangi.
Setelah makan siang, kami mulai menyiapkan “alat perang” kami untuk penyelaman kedua dari dermaga pulau Pelangi. Tanpa mau kejadian di penyelaman pertama terulang, saya ganti baterai kamera saya dulu sebelum menyelam. Setelah turun dan menyelam keluar arah dermaga, visibilitas langsung berkurang drastis, mungkin hanya sekitar maksimum 3 m saja. Baru sekitar 10 menit menyelam, saya dan salah seorang teman saya yang sama – sama gila foto, sudah tertinggal oleh rombongan yang lain. Kami kemudian saling memberi kode agar kami berdua menjadi buddy. Kami berdua hanya berpatokan bahwa reef ada di sebelah kiri kami.
Titik penyelaman di sekitar dermaga pulau pelangi adalah slope dengan lumayan cukup rapat gugusan coralnya dan sedikit dihiasi oleh rubble dan pasir. Beberapa kali saya menemukan coral yang terkena penyakit seperti black-band syndromme disease dan white-band syndromme disease. Meskipun tidak terlalu banyak, ini menunjukkan tingkat kesehatan terumbu karang di sekitar Pulau Pelangi.
Setelah bertemu dengan rombongan yang lain, kami berputar balik menuju ke arah dermaga. Dan lagi – lagi, karena terlalu asik memotret, kami berdua ditinggal oleh rombongan. Tapi, dengan begitu, kami lebih merasa bebas untuk memotret beberapa nudibranch dan kima raksasa seukuran 20 cm di dekat dermaga. Tepat 60 menit kami berdua menyudahi penyelaman.
Penyelaman ketiga merupakan night dive yang juga kami lakukan di dermaga. Setelah menunggu dive master kami memasang lampu beacon sebagai tanda titik awal penyelaman, kami kemudian memulai penyelaman. Sama seperti penyelaman kedua, visibilitas juga tidak terlalu bagus, hanya 3 m.
Memang, penyelaman di malam hari itu menimbulkan sensasi berbeda dengan penyelaman di siang hari. Ada adrenalin yang terpacu karena sekeliling kita yang gelap gulita. Dan tentu saja ada berbagai macam makhluk laut yang muncul yang kita tidak bisa saksikan di siang hari. Pada penyelaman ini, kami dihibur oleh berbagai udang, cacing dan berbagai organisme lain yang tidak saya tahu bentuk dan jenisnya, yang berkumpul di depan senter saya. Sempat pula kami bertemu dengan penyu yang sedang makan tapi segera pergi begitu melihat kami. Penyelaman ini kami lakukan selama 69 menit dan merupakan penyelaman terakhir kami di hari itu.
Esok harinya, setelah sarapan, kami langsung menyiapkan peralatan tempur kami dan menuju ke lokasi kapal karam di dekat pulau Papa Theo. Letak titik penyelaman ini ada di Timur pulau Pelangi sekitar 30 menit perjalanan. Sesampainya di lokasi, kami disambut dengan ombak yang cukup besar. Ini karena lokasi titik penyelaman yang dekat dengan pulau kecil sehingga ombak sudah pecah. Setelah briefing dan sedikit mual – mual terkena goyangan ombak, kami menyelam menuju sebuah kapal karam yang bagian kapal paling dangkalnya di sekitar kedalaman 10 m. Kami sempat dibuat terkejut dengan visibilitas sejauh 15 m di titik ini. Tapi begitu kami mulai menyelam lebih dalam dari 20 m, visibilitas turun hingga 3 m saja.
Di titik ini pula, saya memecahkan rekor penyelaman terdalam saya, yaitu 30,6 m. Memang tidak banyak yang kami bisa lihat di kedalaman itu karena visibilitas yang buruk. Tapi saat kami berenang menuju ke kedalaman 15 m, air kembali jernih dan bisa terlihat, bongkahan kapal dan coral – coral yang sudah terbentuk di bangkai kapal. Tidak banyak ikan – ikan besar yang kami lihat di sini akan tetapi terumbu karang cukup indah. Kami menyudahi penyelaman ini setelah 43 menit dan lagi – lagi masih disambut ombak yang cukup besar di permukaan ketika kami menaiki kapal.
Setelah melakukan surface interval di pulau pelangi, kami kembali menaiki boat untuk menuju ke titik penyelaman lain, yaitu karang Atol yang terletak di sebelah timur pulau Sepa. Visibilitas di titik penyelaman ini cukup baik, yaitu sekitar 7 m, lumayan untuk menikmati pemandangan. Titik penyelaman ini berbentuk dinding yang tidak terlalu dalam dan slope di bagian dasar. Kami menemukan beberapa anemon dan clownfish yang tinggal. Selain itu, saya juga menemukan bahwa beberapa coral sudah terkena bleaching atau pemutihan yang menunjukkan bahwa adanya efek pemanasan global yang terjadi di sini. Selama 55 menit penyelaman, saya cukup banyak memotret di sini.
Penyelaman di karang Atol ini merupakan penyelaman terakhir sebelum kami semua kembali ke Jakarta. Sesampainya di pulau Pelangi dari karang Atol, kami semua merapikan alat tempur kami semua dan kemudian makan siang, mandi dan bersiap untuk kembali ke Jakarta.
Dan lagi – lagi, dari jadwal jam 14.00 keberangkatan menuju ke pantai Mutiara di Jakarta, kembali diundur sekitar 1 jam karena menunggu rombongan sebelah yang belum selesai packing peralatan mereka. Hasilnya, selama perjalanan pulang, kami “dihajar” ombak besar yang membuat beberapa orang dari kami mabuk laut dan sempat muntah. Bahkan, meskipun saya sudah menginjakkan kaki di pantai Mutiara, goyangan ombak masih terasa di kepala saya.
Inti perjalanan ini menurut saya sangat sederhana, yaitu tidak perlu jauh – jauh kita pergi untuk menyelam jika kita memang tidak banyak waktu luang maupun jatah cuti yang sudah habis. Cukup pergi dan menyelam di area kepulauan Seribu di akhir minggu, kita sudah bisa mengobati ( minimal mengurangi sedikit ) rasa kangen untuk menyelam. Dan yang pasti, lakukan perjalanan ON TIME. Selain karena mengganggu jadwal rombongan lain yang satu kapal dengan kita, juga menghindari terkena “serangan” ombak di waktu sore hari.
notes :
Tulisan dan foto-foto ini terlebih dahulu di unggah ke www.indonesiangeographic.com
notes :
Tulisan dan foto-foto ini terlebih dahulu di unggah ke www.indonesiangeographic.com
Minggu, 21 Agustus 2011
KEBUTUHAN dan KEWAJIBAN
Berawal dari curhat istri saya yang merasa mulai malas untuk sholat ( yang juga saya rasakan berkali - kali ) dan teringat oleh quotes menarik dari SHOEBOX Project ( @shoeboxproject ) yaitu "berbagi adalah KEBUTUHAN, bukan KEWAJIBAN", berikut saya share pemikiran saya tentang KEBUTUHAN dan KEWAJIBAN yang sudah saya share via akun twitter saya ( @gitadimar ).
@gitadimar : Ssuatu yg dkerjakan krn kebutuhan akan lbh ringan mengerjakanny dibanding jika krn kewajiban.
@gitadimar : masalahny,bgmn kita mrubah paradigma dr KEWAJIBAN mjadi sbuah KEBUTUHAN?
@gitadimar : Dr bbrp sumber yg saya baca&amati,merubah WAJIB mjd BUTUH bs dmulai dgn cara bkata: sy BUTUH hal itu karena....
@gitadimar : contoh: Saya BUTUH aktif d kegiatan sosial krn saya suka mlihat anak2 jalanan tersenyum ketika dbantu.
@gitadimar : Tidak mudah mengisi ptanyaan "BUTUH karena..." itu.Tp utk meringankan rasa tpaksa krn WAJIB itu,kita ttp hrs mcoba.
@gitadimar : Pelan tp pasti,kita akan bisa&mudah mengisi pertanyaan "BUTUH karena.." itu.Hany perlu berlatih&bsabar.
@gitadimar : Konsep ini diambil dr konsep @shoeboxproject : Krn berbagi itu adl KEBUTUHAN,bkn KEWAJIBAN.
@gitadimar : Terima kasih buat @shoeboxproject yg konsepny sdh mbuat saya sdkt banyak merenungkan arti&nilai hidup ini ttg KEBUTUHAN. (8-END)
Twit ini kemudian di retweet oleh @shoeboxproject admin yang kemudian di komen oleh mas @ibnunajib seperti di bawah ini :
@ibnunajib : @shoeboxproject @gitadimar "butuh" kesannya utilitarian+self centered. Lebih indah jk kebajikan datang dr kesadaran bhw semua 1+terhubung.
Kemudian saya balas untuk kemudian terjadi sebuah diskusi.
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject betul mas.tp ketika BUTUH sdh mjadi self centered dr msg2 yg thubung akan mjadi massive (1)?
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject Sy mjabarkan konsep BUTUH ini mmg dr sudut pndg individual,yaitu ketika sholat.(2)
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject Jika Sholat dlakukan krn kita meras BUTUH & bukan WAJIB, maka kita tdk akan prnh merasa malas.(3)
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject Bukanny kita gak mgkn merasa malas utk bernafas meskipun kita WAJIB bernafas? :) (4)
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject Ketika KEBUTUHAN bernafas scr individual thubung dr tiap individu maka akan tcipta KEBUTUHAN bersama. (5)
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject Ya itu td pjabaran saya mengenai konsep BUTUH yg berawal dr sudut pandang individu.smg berkenan (6-end)
@ibnunajib : @gitadimar @shoeboxproject tks byk. Banyak jln menuju kebaikan, saya hargai 'Butuh' ini. IMHO, kebaikan+moral tak butuh justifikasi ego. 1
lemah sudah 'terpenuhi', menolong ttp baik+benar. 2
@ibnunajib : @gitadimar @shoeboxproject mmg pdkt 'butuh' lbh baik dr 'wajib', tp lebih baik lg yg bebas dr subyektifitas ego. 3
@ibnunajib : @gitadimar @shoeboxproject justifikasi moral anda mirip penekanan pahala+dosa dlm beragama, sgt utilitarian. Tp silahkan, beda itu rahmat:)
@gitadimar : @ibnunajib @shoeboxproject Betul mas. Beda itu Rahmat. Bhinneka Tunggal Ika bukan? :) Terimakasih banyak atas diskusiny.
Yak, mungkin terkesan diskusi ini berhenti begitu saja dan dengan hasil yang nanggung.
Mungkin benar adanya.
Tapi menurut saya, jika diskusi ini diteruskan, mungkin saja malah terjadi perdebatan belaka alias debat kusir, tanpa hasil yang nyata.
Bagi saya, latar belakang saya yang menyatakan bahwa lebih mudah melakukan sesuatu ketika merasa BUTUH dibandingkan ketika merasa WAJIB adalah dari sholat. Ketika kita BUTUH untuk sholat, maka kita tidak akan merasa berat melaksanakan KEWAJIBAN tersebut.
Hal ini bisa kita terapkan di segala hal dan memang mulainya dari masing - masing individu terlebih dahulu. Jika nantinya KEBUTUHAN individu - individu mulai bergabung, nantinya akan menjadi KEBUTUHAN bersama.
Dari yang saya alami dan lihat, KEBUTUHAN manusia tidak akan pernah ada habisnya karena manusia sangat sulit untuk merasa dan berkata CUKUP.
Semoga kita bukan termasuk golongan orang yang merugi dan kufur terhadap nikmat Allah SWT.
Langganan:
Postingan (Atom)